Pages

Banner 468 x 60px

 

Sabtu, 06 April 2013

Investasi Syari'ah Dalam Tafsir Hadits Maudhu'i

1 komentar


BAB I
                PENDAHULUAN            

       A.      Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, telah diakui dan dijamin Allah Azza Wa Jalla. Hal ini seperti yang dijelaskan Allah Allah Azza Wa Jalla dalam kitab-Nya yang mulia:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٨٥)
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran 85).

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣)
 “Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Telah Ku-cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Al Maidah 3)
Ini berarti bahwa segala aturan dan hukum yang digariskan islam telah dijamin sempurna. Islam mampu menjamin tercapainya kemakmuran hidup manusia dalam segala bidang, termasuk kesejahteraan ekonomi.

Perekonomian merupakan tulang punggung kehidupan masyarakat. Dan islam sangat melarang segala sesuatu yang dapat merusak kehidupan perekonomian bangsa, seperti riba, gharar dan maysir. Islam juga melarang umatnya menumpuk uang atau menumpuk kekayaan, karena islam tidak membenarkan penganutnya memperkaya dan mementingkan diri sendiri demi keuntungan pribadi, memperbudak, dan memeras si miskin karena perbuatan tersebut akan membuat orang kikir. Islam mendorong pemerataan pendapatan dan kemakmuran ekonomi dalam masyarakat. Dan diantara solusi islam dalam upaya pemerataan pendapatan dan kemakmuran ekonomi masyarakat adalah dengan pemberdayaan ekonomi syariah.
Semakin pesatnya perkembangan bisnis syariah di Indonesia, maka peluang yang dihadapi oleh para pelaku bisnis syariah dalam mengembangkan sumber daya masyarakat. Perkembangan tersebut ditandai dengan tumbuh suburnya bisnis syariah di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya.
Selain itu, prinsip investasi syariah juga harus dilakukan tanpa paksaan (ridha), adil dan transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk bebas manipulasi dan spekulasi. Inilah yang menjadi daya tarik bagi para investor. Dari sini dapat diasumsikan bahwa bentuk investasi syariah dalam membangun ekonomi nasional harus diperhitungkan, karena tingkat perkembangannya yang relatif cepat.
Sementara tantangan dan ganjalan yang dihadapi dalam investasi syariah di Indonesia adalah melemahnya kaum muslimin dalam menuntut ilmu syar’i sehingga menyulitkan membendung dunia globalisasi. Ini dibuktikan dengan maraknya investor yang berinvestasi pada industri-industri yang memproduksi produk haram, misalnya minuman keras, tempat-tempat prostitusi, bahkan produksi rokok di indonesia yang telah mencapai 3.800 pabrik rokok termasuk usaha rumahan, pantas kiranya jika Indonesia mendapat sebutan negeri rokok atau negeri tembakau. Selain itu jumlah perokok aktifnya termasuk dalam lima besar di dunia, jumlah pabrik rokok di negeri ini rupanya yang terbanyak di seantero jagat.[1]
Ditambah lagi penyebaran investor yang tidak merata, di Indonesia investasi proyek-proyek penanaman modal dalam negeri 55 persen untuk jawa dan 45 persen untuk luar jawa sedangkan untuk investor penanaman modal asing untuk jawa 75 persen untuk jawa dan 25 persen untuk luar jawa.[2] Sehingga tingkat perekonomian wilayah tersebut sangat menggairahkan. Namun bagi wilayah lain, tak mendapatkan proyek investasi jelas menjadi mimpi buruk karena harapan untuk memperbaiki derajat kehidupan yang lebih baik sulit tercapai.
Inilah yang menjadi tantangan pada investasi syariah di Indonesia. Dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, oleh karena itu partisipasi dari masyarakat sangat diperlukan. Demi terpenuhinya peluang dan tantangan tersebut, maka harus dirumuskan dan disosialisasikan mengenai peran investasi syariah, sehingga partisipasi masyarakat dalam bisnis ini juga akan meningkat.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep Al-Qur’an dan Hadits terhadap investasi ?
2.      Bagaimana implementasinya dalam teori ekonomi ?


















BAB II
KAJIAN TEORITIS

A.  Pengertian Investasi Syari’ah
Investasi, berasal dari kata إستثمر  yang artinya membuahkan.[3] Sedangkan dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, investasi adalah penanaman modal dalam suatu usaha atau perusahaan dengan maksud mendapatkan keuntungan.[4]
Para ekonom mengemukakan pengertian yang berbeda-beda tentang investasi. Kendati demikian, ada beberapa kesamaan dalam pengertian meraka. Alexander dan Sharpe (1997:1) mengemukakan bahwa investasi adalah pengorbanan nilai tertentu yang berlaku saat ini untuk mendapatkan nilai di masa datang yang belum dapat dipastikan besarnya. Sementara itu Yogiyanto (1998:5) mengemukakan bahwa investasi adalah penundaan konsumsi saat ini untuk digunakan dalam produksi yang efisien selama periode tertentu. Tandelin (2011: 4) mendefinisikan investasi sebagai komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lain yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang.[5]  
Dalam fikih Islam, investasi atau simpan dikenal dengan al-Wadi’ah. Menurut bahasa al-Wadi’ah diartikan sesuatu yang dititipkan kepada orang yang bukan pemiliknya. Beberapa pendapat ulama mengenai pengertian investasi adalah sebagai berikut :[6]
1.        Imam Malik berpendapat, bahwa al-Wadi’ah merupakan perumpamaan dari keterwakilan seseorang untuk menjaga harta.
2.        Imam Abu Hanifah juga menjelaskan, al-Wadi’ah adalah suatu nama khusus untuk seseorang yang menitipkan harta kepada orang yang dipercaya dengan adanya ijab qabul (aqad serah terima), walaupun kata terima itu jelas atau suatu tindakan yang dapat dimengerti.
3.        Imam Syafi’i berpendapat, al-Wadi’ah bermakna aqad yang dikerjakan untuk menjaga sesuatu barang yang dititipkan.
4.        Imam Hambali menjelaskan mengenai pengertian al wadi’ah, yaitu mewakilkan kepada seseorang untuk menjaga barang secara bersama.
Imam Syafi’i dalam hal investasi memberikan beberapa syarat, diantaranya:[7]
1.        Yang disyaratkan kepada barang atau harta yang menjadi simpanan.
2.        Yang berhubungan dengan lafadz  sighat aqad.
3.        Dalam lafadz (sighat) aqad hendaknya berupa kata-kata, baik kata-kata tersebut berupa kata yang jelas atau berupa sindiran.
4.        Investasi merupakan suatu usaha yang baik.
Jadi, investasi syari’ah adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan menanamkan modalnya pada suatu perusahaan atau bisnis yang sesuai dengan syari’ah dengan tujuan mendapatkan keuntungan profit dan keuntungan sosial.
B.  Perbedaan Sistem Ekonomi Syari’ah dan Sistem Ekonomi Konvensional dalam Pasar Modal
Dalam ekonomi Islam, memberikan bunga jelas hukumnya dilarang dan ada partisipasi langsung dalam risiko dan keuntungan yang dibagi. Berbeda hanlnya dengan ekonomi konvensional bunga dibolehkan dan tidak ada partisipasi langsung dalam risiko dan keuntungan sehingga terkadang dalam ekonomi konvensional terjadi kecurangan, menguntungkan salah satu pihak serta merugikan pihak yang lain. Adapun perbedaannya sebagai berikut:[8]
1.    Pasar Modal  Dalam Sistem Ekonomi Syari’ah:
a.       Memungkinkan pemilik investasi berpartisipasi secara penuh dalam perusahaan dengan sistem bagi hasil dan risiko.
b.      Memungkinkan pemegang saham memperoleh likuiditas dengan menjual saham yang mereka miliki sesuai dengan sistem di pasar modal.
c.       Memperbolehkan perusahaan untuk meningkatkan modal ekternal untuk membangun dan meningkatkan produksi mereka.
d.      Menghindari operasi bisnis perusahaan dari perubahan harga saham jangka pendek yang merupakan karakteristik utama dari pasar modal konvensional.
e.       Memungkinkan investasi dalam ekonomi menjadi cermin kinerja perusahaan dengan melihat harga saham perusahaan tersebut.
2.      Pasar Modal Dalam Ekonomi Konvensional:
a.       Memperbolehkan adanya partisipasi secara penuh terhadap kekayaan perusahaan bagi investor.
b.      Memungkinkan pemegang saham dan surat hutang untuk memperoleh likuiditas dengan menjual saham atau obligasi perusahaan ke pasar modal
c.       Memperbolehkan perusahaan meningkatkan dana eksternal dalam rangka ekspansi aktivitas perusahaan.
d.      Memudahkan bagi para spekulan untuk mengambil keuntungan lebih.
e.       Berinvestasi hanya bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

C.  Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam Dalam Investasi
Prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syari’ah (pihak terkait) adalah :[9]
1.      Tidak mencari rizki pada hal haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya dalam hal-hal yang haram.
2.      Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.
3.      Keadilan pendistribusian kemakmuran.
4.      Transaksi dilakukan atas dasar ridah sama ridha.
5.      Tidak ada unsur riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan/samar-samar).

Berdasarkan keterangan di atas, maka kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum syari’ah yang berlaku. Perputaran modal syari’ah tidak boleh disalurkan kepada jenis bisnis yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharamkan seperti pembelian saham pabrik minuman keras, pembangunan penginapan prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan syari’ah.





D.  Jenis-jenis Investasi
a.       Investasi yang disyariatkan
Dalam investasi syari’ah dua prinsip bagi hasil yang dibolehkan, yaitu:[10]
1.      Mudharabah yaitu perjanjian antara pemilik modal dan pengelola modal untuk memperoleh keuntungan. Pihak pertama sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan pihak kedua sebagai pengelola modal masing-masing mendapatkan keuntungan yang dibagi sesuai nisbah yang disepakati awal akad.
2.      Musyarakah yaitu perjanjian antara pihak-pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati.
 
b.      Investasi yang dilarang atau tidak disyariatkan
Hukum syariat Islam telah menjadikan masalah pengembangan kepemilikan terkait dengan hukum –hukum yang tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, syariat Islam melarang individu mengivestasikan (mengembangkan harta) kepemilikannya dengan cara-cara tertentu, antara lain:[11]
1.      Maysir (Perjudian)
Syara’ telah melarang perjudian tersebut dengan larangan yang tegas. Bahkan, syara’ menganggap harta yang diperoleh melalui perjudian, sebagai harta yang bukan termasuk hak milik Allah Shubahanahu wa ta’ala. Adapun Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai hal tersebut (Qur’an Surah Al-Maidah: 90-91).
2.      Riba
Syara’ telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnya jelas-jelas haram. Dan tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Adapun Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai hal tersebut (QS. Al-Baqarah: 275-281)

3.      Penipuan (Al-Ghabn)
Ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata, atau dengan harga yang lebih rendah dari harga rata-rata. Ghabn secara syar’i hukumnya memang haram. Sebab, ghabn tersebut telah ditetapkan berdasarkan hadits yang shahih, dimana hadits tersebut menuntut agar meninggalkan ghabn dengan tuntutan yang tegas.
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa ada seseorang laki-laki mengatakan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia telah menipu dalam jual-beli, maka beliau bersabda:
                                           إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لَا خِلَابَةَ  
“Apabila kamu menjual, maka katakanlah:‘Tidak ada penipuan’.” (HR. Bukhari).

4.      Penipuan (Tadlis) dalam Jual-Beli
Pada dasarnya transaksi jual-beli itu bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qabul[12] antara penjual dan pembeli, lalu “majelis jual-beli”[13]-nya telah berakhir, maka transaksi tersebut berarti telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan penjual tersebut. Hanya masalahnya, ketika transaksi muamalah itu harus sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antarindividu, maka syara’ telah mengharamkan individu tersebut melakukan penipuan (tadlis) dalam jual-beli. Bahkan syara’ telah menjadikan penipuan sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari pihak penjual, maupun pembeli barang atau uang.
5.      Penimbunan
Penimbunan adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga-harga barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, hingga warga setempat sulit menjangkaunya. Penimbunan secara mutlak dilarang dan hukumnya haram. Karena adanya larangan yang tegas di dalam hadits. Dari Sa’id bin Al-Mushaib dari Ma’mar bin Abdullah Al-Adawi, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وعن معمر بن عبد الله رضي الله عنه عن رسول الله صلي الله عليه وسلم لا يحتكر الا خاطئي )رواه مسلم(
“Tidaklah menimbun barang kecuali orang yang berdosa”. (HR. Muslim)
Di dalam hadits tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan penimbunan barang. Hal ini dikarenakan dengan menimbun barang pembeli akan merasa terzholimi karena barang-barang dipasaran sedikit sehingga harga barang tersebut akan melonjak tinggi.
6.      Pematokan Harga
Allah Shubahanahu wa ta’ala telah memberikan hak tiap orang untuk membeli dengan harga yang disenangi. Pada prinsipnya pula jual-beli harus didasarkan sama-sama suka sehingga dalam pematokan harga ini dilarang dalam syariat karena dapat menzholimi salah satu pihak.

b.   Lembaga Keuangan Investasi  Syari’ah
Lembaga keuangan investasi syari’ah  terbagi atas dua yaitu pasar uang dan pasar modal syari’ah. Lembaga ini menyediakan surat berharga sebagai sarana atau alat yang diperdagangkan untuk memobilisasi sumber-sumber dari masyarakat dan juga untuk mengamankan likuiditas lembaga keuangan syari’ah yang berlebihan.[14]

Pasar Uang Syari’ah
       Pasar uang syari’ah  adalah pasar dimana diperdagangkan surat berharga yang diterbitkan sehubungan dengan penempatan  atau peminjaman uang dalam jangka pendek (satu tahun atau kurang) guna memobilisasi sumber dana jangka pendek dan mengatur likuiditas secara efesien, dapat memberikan keuntungan dan sesuai dengan syari’ah.
       Di beberapa negara yang telah menerapkan pasar uang syari’ah seperti Yordania telah mengeluarkan Mutual Loan Bonds, yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan pemerintah.    IDB menerbitkan Trust Invesment Unit Funds dan Islamic Bank Portofolio for Trade Finance. Malaysia menerbitkan surat berharga yaitu Goverment Investment Certificate, Islamic Accepted Bills, Halal Bangkers Acceptance (Green BA), Bank Negara Negotiable Notes, Sanadat Mudharabah, Islamic Commercial Papers, Negotiable Islamic Debt Sertificate, dan Islamic Bond/Private Debt Securities.
       Pasar uang syari’ah di Indonesia dikenal dengan pasar uang antar bank berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS). Pasar uang syari’ah yang digunakan dalam PUAS adalah:
1.    Dalam bentuk Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA)
2.    Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)

Pasar Modal Syari’ah
       Pasar modal syari’ah adalah pasar yang mempertemukan mereka yang memerlukan dana jangka panjang dan mereka yang dapat menyediakan dana tersebut. Jual beli dana jangka panjang ditunjukkan dengan kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham, obligasi dan sekuritas-sekuritas lain yang bersifat jangka panjang. Bursa Efek merupakan satu bentuk kegiatan pasar modal.
       Beberapa negara yang memanfaatkan pasar modal syari’ah adalah Bahrain Stock di Bahrain, Amman Financial Market di Amman, Muscat Securities Kuwait Stock Exchange di Kuwait dan Malaysia Kuala Lumpur Stock Exchange di Malaysia. Di negeri Paman Sam, New York Exchange meluncurkan Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) pada bulan Februari 1999. Pasar modal syari’ah di Indonesia ditandai dengan berdirinya Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2000. 











BAB III
PEMBAHASAN

A.  Menjaga Harta dan Berupaya Mengembangkannya
Islam memandang bahwa harta merupakan salah satu dari perhiasan dunia dan juga sarana dari sekian banyak sarana yang bisa mempermudah hidup manusia. Islam tidak mencela suatu harta (dari sisi bendanya) dan tidak meletakkannya setingkat barang-barang mungkar atau haram. Ia sekadar sarana (media) yang jika digunakan dalam kebaikan, maka ia akan menjadi baik. Dan jika digunakan dalam keburukan, maka ia akan menjadi buruk.[15] Allah Ta’ala berifirman:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥)وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦)فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (٧)وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (٨)وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (٩)فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (١٠)وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى (١١)
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail: 5-11).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١٨)
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Allah Shubahanallah Wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.” Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya. Pengertian takwa ini mencakup sesuatu yang telah diperintahkan dan meninggalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan dan meninggalkan sesuatu yang telah dilarang.[16]

Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,”Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok,” yaitu, hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lihatlah apa yang telah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal-amal saleh, untuk hari dimana kamu akan kembali dan berhadapan dengan Tuhan kamu. ”Dan bertakwalah kepada Allah,” penegasan untuk yang kedua kalinya, “Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Yaitu, ketahuilah, bahwa Allah Yang Mahasuci adalah Mahatahu atas semua perbuatan dan hal ihwal kamu. Tidak ada sesuatu pun yang dapat kamu sembunyikan daripada-Nya dan tidak ada perkara-perkara kamu yang gaib daripada-Nya, yang besar atau yang kecil.[17]     
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (٣٤)
 “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Lukman: 34)

Inilah kunci-kunci kegaiban yang hanya diketahui Allah Ta’ala. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya kecuali setelah Dia memberitahukan kepadanya. Adapun waktu kiamat maka tidak diketahui, baik oleh nabi yang diutus maupun malaikat muqarrabin. “Tidak ada seorang pun yang dapat menerangkan kedatangan kiamat selain Dia.” Demikian pula seseorang tidak dapat mengetahui apa yang diusahakannya esok, baik di dunia maupun di akhirat. Demikian pula tidak ada seseorang pun yang mengetahui di negeri Allah manakah atau di negeri selain-Nya (jika ada) yang manakah dia akan mati. Dan tiada seorang pun yang mengetahui hal itu.[18]
Dalam kitab Zubdatu Tafsir karya Al-Asyqar, sebagaimana yang dikutip Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution,  lafal ماذا تقشب غدا  ditafsirkan dengan من كسب دين أو كسب دنيا   yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “Dari usaha untuk bekal akhirat ataupun usaha untuk bekal dunia”.[19] Perihal tersebut diperkuat kembali dengan sebuah  Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhairi dan Muslim dari Ibnu Umar sebagai berikut:
عن ابن رعمر رضي الله عنهما عن الني صلي الله علبه وسلم انه قال مفاتيح الغيب خمس لا يعلمها الا الله لا يعلم ما تغيض الارحام الا الله ولا يعلم ما في غد الا الله ولا يعلم متي ياتي المطر حد الا الله ولاتدري نفس باي ارض تموت الا الله ولا يعلم متي تقوم الساعة الا الله  )رواه البخار(
 “Kunci-kunci gaib ada 5 (lima) yang tidak seorang pun mengetahui kecuali Allah Shubahanahu wa ta’ala semata:
1.    Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi pada hari esok kecuali Allah.
2.    Tidak ada yang dapat mengetahui kapan terjadi hari kiamat kecuali Allah.
3.    Tidak ada yang dapat mengetahui apa yang terjadi atau yang ada dalam kandungan rahim kecuali Allah.
4.    Tidak ada yang dapat mengetahui kapan turunnya hujan kecuali Allah.
5.    Tidak ada yang dapat mengetahui di bumi mana seseorang akan wafat. (HR. Bukhari)

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa’: 9)

Firman Allah Ta’ala, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah.” Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “ Ayat ini berkaitan dengan seseorang yang menjelang ajal. Ada orang lain yang mendengar orang itu menyampaikan wasiat yang menyengsarakan ahli warisnya, maka Allah Ta’ala menyuruh orang yang mendengar wasiat itu agar bertakwa kepada Allah, meluruskan, dan membenarkan orang yang berwasiat serta agar memperhatikan ahli warisnya yang tentunya dia ingin berbuat baik kepada mereka dan khawatir jika dia membuat mereka terlantar.[20]
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwasahnya setiap manusia diperintahkan untuk mempersiapkan hari esoknya, baik itu untuk akhirat maupun dunia. Karena hanya Allah Shubahanahu wa ta’ala yang maha mengetahui segala seseuatu sedangkan manusia memiliki kemampuan yang terbatas.

B.  Komitmen Dengan Dasar-dasar Pengembangan Investasi Syariah

a.       Memilih Jalan yang Terbaik Untuk Investasi
Islam sangat menekankan agar setiap para investor berlaku profesional dalam mengelola sumber-sumber modal yang telah dimudahkan oleh Allah Azza wa jalla padanya, sehingga dia dapat menggunakannya pada objek yang tepat serta menginventasikan modal yang dimiliki untuk hal-hal yang dibolehkan dalam berinvestasi. Allah Ta ‘ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’: 29)

Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sesama mereka secara bathil, yakni melalui aneka jenis usaha yang tidak disyari’atkan seperti riba dan judi[21] serta beberapa jenis tipu muslihat yang sejalan dengan kedua cara itu, walaupun sudah jelas pelarangannya dalam hukum syara’, seperti yang dijelaskan Allah bahwa orang yang melakukan muslihat itu dimaksudkan untuk mendapatkan riba. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ihwal seseorang yang membeli pakaian dari orang lain. Penjual berkata, “ Jika kamu suka, ambillah. Jika kamu tidak suka, kembalikanlah disertai 1 dirham.” Ibnu Abbas berkata, “ Itulah praktik yang karenanya Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan batil.”[22]
Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali dengan perdagangan secara suka sama suka diantara kamu.” Maksudnya, janganlah kamu melakukan praktik-praktik yang diharamkan dalam memperoleh harta kekayaan, namun harus melalui perdagangan yang disyari’atkan  dan berdasarkan kerelaan antara penjual dan pembeli. Selanjutnya Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dengan cara melakukan berbagai perkara yang diharamkan Allah, mendurhakai-Nya, dan memakan harta sesama kamu dengan cara yang batil.” Sesungguhnya Allah maha penyayang terhadapmu” jika Dia menyuruhmu melakukan sesuatu dan melarangmu dari sesuatu.[23]  Ayat ini merupakan landasan dasar tentang tata cara berinvestasi yang sehat dan benar.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan agar segala sesuatu dilakukan dengan ihsan (sebaik mungkin). (HR. Muslim)[24]
Dalam melakukan investasi seorang pengusaha atau pebisnis hendaklah memperhatikan usaha dan bisnis yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan didalam Islam telah mengatur  investasi yang dibolehkan menurut syari’ah dan yang tidak diperbolehkan. Sehingga dengan adanya investasi syari’ah maka tidak ada lagi perlakuan zholim dalam berbisnis.

b.      Menghindari Untuk Memperkerjakan Orang-orang yang Kurang Akal
Hal ini berdasarkan petunjuk Allah Azza wa jalla berikut ini:
1.      Larangan untuk memperkerjakan orang-orang yang kurangnya akalnya dalam mengelola harta inventasi. Hal ini berrdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (٥)
 “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (an-Nisa’: 5)

      Allah Ta’ala melarang memberikan kemungkinan pada sufaha untuk mengelola harta kekayaan yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan bagi manusia; harta yang diandalkan untuk menopang penghidupan mereka, seperti perdagangan dan semacamnya. Larangan itulah yang menjadi dasar perlindungan atas sufaha. Sufaha dapat berupa anak kecil. Ia harus dilarang mengelola hartanya karena pertimbangannya tidak tidak dapat dijadikan patokan. Sufaha dapat dapat berupa orang gila dan orang yang tidak cakap dalam mengelola harta lantaran kurang ilmu pengetahuan dan agamanya. Sufaha dapat berupa orang yang muflis, yaitu orang berutang dan hartanya tidak mencukupi untuk membayar utang. Jika orang berpiutang menagih kepada yang berutang, maka hakim melarangnya untuk menggunakan hartanya.[25]
      Sehubungan dengan firman Allah, “Dan janganlah kamu memberikan harta kepada sufaha,” Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sufaha ialah anak dan istrimu. Menurut adh-Dhahak, sufaha ialah wanita dan anak-anak. Menurut Said bin Zubaii, sufaha ialah anak yatim. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Umamah. Dia berkata bahwa, Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Sesungguhnya kaum wanita itu merupakan sufaha kecuali yang menaati wali/suami.” Ada pendapat juga mengatakan sufaha adalah khadam dan setan dari kalangan manusia.[26]
      Dalam pembahasan di atas dijelaskan bahwa dalam berinvestasi hendaknya seorang investor tidak menginvestasikan hartanya pada orang yang kurang akalnya dalam hal ini sufaha.

2.      Menyeleksi investor yang akan diajak kerjasama, juga memilih orang-orang yang siap diajak  mudharabah (bagi hasil), menunjuk para pengelola yang mempunyai kapabilitas dan mempunyai integritas moral yang tinggi, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ (٢٦)

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (al-Qashash: 26).

Islam mengajak setiap orang agar selektif dalam memilih orang yang akan bertanggung jawab dalam masalah harta, mulai tahap pengumpulannya, pembelanjaannya, penginvestasiannya, atau pengaturan dalam bentuk apapun. Dengan cara demikian, akan terwujud kematangan dalam manajemen harta yang berimbas pada kemanfaatan khusus dan umum. Di waktu yang sama, cara ini akan mendorong pemilik harta untuk tidak menimbunnya atau menahannya untuk tidak diputar dan dimanfaatkan dengan orang lain.



BAB IV
IMPLEMENTASI INVESTASI SYARIAH

IV.1  Investasi Akhirat
Hidup didunia adalah kesempatan yang sangat berharga bagi setiap muslim. Karena dengan kesempatan tersebutlah anda dapat menggunakan waktu yang diberikan oleh Allah Shubahanahu wa ta’ala sebagai ladang amal untuk bekal menuju akhirat. Memikirkan investasi akhirat sama dengan menanam benih yang kelak akan berbuah dan mendatangkan hasil bagi si penanamnya. Jika pohon itu tetap ada, ia akan terus memberikan manfaat bagi orang yang memetik buah pohon tersebut. Meskipun orang yang menaman pohon  telah meninggal dunia. Allah menjelaskan tentang perbuatan yang telah kita lakukan didunia akan mendapat balasan terbaik dari di akhirat kelak sebagai mana arti ayat berikut ini:

“Dan bahwa munusia hanya akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya sesuai dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 39-41)

Ayat tersebut dapat penulis simpulkan bahwa segala sesuatu akan berbalas diakhirat sesuai dengan apa yang telah di usahakan. Bahkan dengan balasan yang sempurna. Setiap orang pasti menginginkan investasi yang baik. Investasi yang mendatangkan keberuntungan bagi sipenanamnya. Bukan investasi yang akan menjerumuskannya kedalam keburukan dan dosa. Kemudian dalam sebuah hadist  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ) رواه مسلم(
”Apabila manusia mati, maka  terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara yaitu, Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang mendoakannya.  (HR. Muslim)

Bersandar kepada hadist riwayat Muslim tersebut di atas, kiranya investasi akhirat ini perlu dilirik karena menguntungkan bagi orang-orang yang mengerjakannya dengan ikhlas. Sebagaimana penjelasan berikut ini:[27]
1.         Shadaqah Jariyah
Sedekah jariyah adalah salah satu bentuk investasi yang akan mengalir terus menerus, meskipun orang yang  telah bersedekah tersebut sudah meninggal dunia. Bersedekah tidak perlu menunggu kaya. Banyak hal yang kita lakukan dengan bersedekah. Sedakah bisa berbentuk apa saja. Baik materi, ataupun jasa. Bahkan hal termudah yang bisa kita lakukan adalah tersenyum. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam “Senyummu dihadapan Saudaramu adalah shadaqah”(HR. Ibnu Majah)
2.         Ilmu yang Bermanfaat
Selain sedekah, Ilmu adalah investasi kedua yang dapat menjadi prioritas dalam berinvestasi akhirat. Ilmu merupakan jembatan pengetahuan bagi setiap orang untuk menyelami kehidupan ini. Dengan Ilmu orang bisa terbuka wawasannya. Dengan ilmu manusia bisa menyibak rahasia alam. Ilmu menjadi kunci kesuksesan muslim untuk dunia- akhirat. Dengan Ilmu orang bodoh menjadi pintar.Dengan Ilmu orang jahil  menjadi lebih  beradab. Bahkan ketika Nabi Sulaiman disuruh memilih antara harta benda, kerajaan dan ilmu. Maka beliau lebih memilih ilmu. Karena dengan ilmu manusia dapat memperoleh kerajaan dan harta benda.
3.         Anak yang Sholeh
Investasi yang terakhir ini merupakan usaha dari orang tua yang telah mendidik anak-anaknya semasa di dunia dengan baik. Memberikan pondasi keimanan yang kuat. Mendidik dengan baik. Meski orang tua bersusah payah dalam membesarkan, menjaga, memberikan pendidikan dunia dan akhirat.  Rela berkorban sampai sang anak dewasa dan mandiri. Perjuangan tersebut secara tidak sadar merupakan investasi yang telah ditanam orang tua kepada sang anak. Dengan didikan yang baik, maka lahirlah pribadi anak-anak yang sholeh. Anak yang sholeh tentunya akan senantiasa mendo’akan orang tuanya. Tanpa diminta ataupun tidak.  Baik orang tuanya masih ada ataupun telah tiada. Karena anak sholeh menyadari bahwa mendo’akan orang tua adalah wujud bakhti anak agar mendapatkan ridho Allah Shubahanahu wa ta’ala.

VI.2 Investasi Dunia
Beberapa instrumen investasi syari’ah sebagai berikut:
1.        Tabungan
Tabungan adalah bentuk simpanan atau investasi dana nasabah yang bersifat likuid, hal ini memberikan arti bahwa investasi bisa diambil sewaktu-waktu apabila nasabah membutuhkan, namun bagi hasil yang ditawarkan relatif kecil. Dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000, tabungan yang dibenarkan dalam prinsip syari’ah adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
2.        Saham
Penyertaan modal atau saham merupakan salah satu bentuk penanaman modal pada suatu entitas (badan usaha) yang dilakukan dengan menyetorkan sejumlah dana tertentu dengan tujuan untuk menguasai sebahagian hak pemilikan atas perusahaan. Pemegang saham atau investor mendapatkan hasil melalui pembagian deviden dan capital again. Perusahaan penerbit saham pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
3.        Sukuk (Obligasi Syari’ah)
Instrumen kedua yang diperdagangkan di investasi syari’ah adalah  sukuk. Sukuk adalah surat berharga yang berisi kontrak (akad) pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah. Sukuk dikeluarkan oleh lembaga/institusi/organisasi baik swasta maupun pemerintah kepada investor (sukuk holder). Penerbit sukuk wajib membayar pendapatan kepada investor berupa bagi hasil atau marjin atau fee selama masa akad.
4.      Deposito
Deposito adalah bentuk simpanan nasabah yang mempunyai jumlah minimal tertentu, jangka waktu tertentu dan bagi hasilnya lebih tinggi daripada tabungan. Menurut UU Perbankan Syari’ah No.21 Tahun 2008, Deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syari’ah atau unit usaha syari’ah (UUS).
5.      Reksa Dana Syari’ah
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 20/DSN-MUI/IV/2001, pengertian reksa dana syariah (Islamic investment funds) adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip-prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal dengan manajer investasi (wakil pemodal), maupun antara manajer investasi dengan pengguna investasi. Kebijakan investasi reksa dana syariah adalah berbasis instrumen investasi dengan cara-cara pengelolaan yang halal. Halal disini berarti bahwa perusahaan yang mengeluarkan instrumen investasi tersebut tidak boleh melakukan usaha-usaha yang bertentangan dengan prinsip Islam. Misalnya,tidak melakukan perbuatan riba (membungakan uang) dan tidak memakai strategi investasi berdasarkan spekulasi, saham, obligasi dan sekuritas lainnya tidak berhubungan dengan produk minuman keras, produk yang mengandung babi, bisnis hiburan berbau maksiat, perjudian, pornografi, dan sebagainya.














BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
Investasi, berasal dari kata ististmar yang artinya menjadikan berbuah (berkembang) dan bertambah jumlahnya. Ististmar islami merupakan satu kegiatan yang sangat positif yang harus dilakukan oleh manusia dan harus dilandasi syari’ah Islam. Karena itu pula maka ia harus mampu menyelaraskan posisinya sebagai lahan yang akan menerapkan prinsip-prinsip dan tujuan disyariatkannya ekonomi Islam.
Beberapa prinsip-prinsip dasar dalam berinvestasi adalah sebagai berikut :
1.         Berinvestasi dengan hal-hal yang mendatangkan kebaikan, dalam artian tidak berinvestasi kepada hal-hal yang melanggar syariat. Misalnya tidak berinvestasi pada bisnis minuman keras, industri rokok, obat-obatan terlarang, dan lain-lain.
2.         Tidak berinvestasi pada orang-orang yang kurang akal, yaitu :
a.         Tidak berinvestasi pada orang-orang kurang akal, para ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan, anak kecil, orang gila, wanita, orang yang belum berilmu, dan orang yang berutang.
b.        Menyeleksi dalam memilih investor yang akan diajak kerjasama, dalam artian memilih investor yang dipercaya, jujur, dan baik akhlaknya.
Adapun dalam implementasinya penulis membagi dua, yaitu:
a.         Investasi Akhirat
1.        Shadaqah jariyah
2.        Ilmu yang bermanfaat
3.        Do’a anak sholeh kepada orang tuanya
b.         Investasi Dunia
1.        Tabungan
2.        Saham
3.        Sukuk (Obligasi Syari’ah)
4.        Deposito
5.        Reksa Dana Syari’ah

V.2 Saran
1.      Kepada Pemerintah
Segera membuka ladang-ladang bisnis berinvestasi syari’ah, meratakan distribusi investasi di semua daerah guna membuka perekonomian yang stabil dan menutup investasi-invetasi bisnis yang  melanggar syariah serta mengantinya dengan investasi syari’ah.
2.      Kepada para Akademisi
Agar kiranya lebih banyak untuk mensosialisasikan mengenai keuntungan, kebaikan dan keberkahan dengan berinvestasi syari’ah dan menjelaskan dampak atau akibat dari investasi yang tidak syari’ah. Serta mengarahkan pemerintah dan masyarakat untuk menggunakan atau berinvestasi syari’ah.
3.      Kepada Masyarakat
Agar lebih pekah melihat dampak dari berinvestasi yang tidak syari’ah dan senantiasa menuntut ilmu syar’i.

















DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Qur’anul Karim dan Hadits
A-Rifa’i Muhammad Nasib, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. (Penj; Shihabudin). Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Jilid I
-----------------------, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. (Penj; Shihabudin). Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Jilid III
-----------------------, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. (Penj; Shihabudin). Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Jilid IV
Askar, S., “Kamus Arab-Indonesia (Terlengkap, Mudah dan Praktis)”,  Jakarta: Senayan Publising, cet.1, 2009.
Dawwabah Muhammad Asyraf, “Menjadi Entrepreneur Muslim Tahan Banting”, (Penj: Budiman Mustofa), Solo: Ziyad Visi Media: 2009
Fajri Em Zul & Ratu Aprilia Senja, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, Difa Publisher
Firdaus Muhammad, dkk. “Sistem Keuangan dan Investasi Syari’ah”, Jakarta: Renaisan anggota IKAPI, Cet. 1, 2005,
HR, Muhammad Nafik, “Bursa Efek dan Investasi Syari’ah”, Jakarta: Serambi, Cet: 1, 2009
Huda Nurul & Mustafa Edwin Nasution, “Investasi Pada Pasar Modal Syariah”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Muthaher Osmad, “Akuntasi Perbankan Syari’ah”, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012
Nabhani, Taqyuddin , “ Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam”, (Penj. Mohammad Maghfur Wachid), Surabaya:Risalah Gusti, 1996
Rivai Veithzal dan Andi Buchari, “Islamic Economics Ekonomi Syari’ah Bukan Opsi Tetapi Solusi”, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 2009
Tan Inggrid. “Bisnis dan Investasi Sistem Syari’ah”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009

Koran:

Koran Republika


Website

http//www.wasathon.com


 


[1] http/www.kompas.com, diakses pada tanggal 12 februari 2013
[2] Koran Republika, selasa 5 februari 2013
[3] S. Askar, “Kamus Arab-Indonesia (Terlengkap, Mudah dan Praktis)”,  Jakarta: Senayan Publising, cet.1, 2009.
[4] Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, Difa Publisher.
[5] Muhammad Nafik HR, “Bursa Efek dan Investasi Syari’ah”, Jakarta: Serambi, Cet: 1, 2009
[6] Mushlihin  Al-Hafidz, investasi menurut pakar dan ulama fikih, http://www.referensimakalah.com. diakses pada tanggal 13 februari 2013.
[7] Ibid, diakses pada tanggal 13 februari 2013
[8] Veithzal Rivai dan Andi Buchari, “Islamic Economics Ekonomi Syari’ah Bukan Opsi Tetapi Solusi”, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 2009, hlm. 534
[9] Inggrid Tan, “Bisnis dan Investasi Sistem Syari’ah”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm. 15
[10] Osmad Muthaher, “Akuntasi Perbankan Syari’ah”, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 18
[11] Taqyuddin An-Nabhani, “ Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam”, (Penj. Mohammad Maghfur Wachid), Surabaya:Risalah Gusti, 1996, hlm. 199.
[12] Maksud dari ijab dan qabul adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam suatu transaksi.
[13] Maksud dari “majelis jual-beli” adalah tempat pertemuan antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi, baik pembelian maupun penjualan.
[14] Muhammad Firdaus, dkk. “Sistem Keuangan dan Investasi Syari’ah”, Jakarta: Renaisan anggota IKAPI, 2005, Cet. 1
[15] Muhammad Asyraf Dawwabah, “Menjadi Entrepreneur Muslim Tahan Banting”, (Penj: Budiman Mustofa), Solo: Ziyad Visi Media: 2009, hlm. 145.
[16] Muhammad Nasib A-Rifa’i, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. (Penj; Shihabudin). Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Jilid IV, hlm. 658.
[17] Ibid, hlm 658.
[18] Muhammad Nasib A-Rifa’i, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. (Penj; Shihabudin). Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Jilid III, hlm. 806
[19] Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, “Investasi Pada Pasar Modal Syariah”, Cet. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, , hlm. 19
[20] Muhammad Nasib A-Rifa’i, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. (Penj; Shihabudin). Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Jilid I, hlm. 656
[21] Berbagai jenis riba banyak dilakukan dan dikenal pada zaman kita sekarang, misalnya menjual secara kredit atau menjual satu barang dengan dua jenis patokan. Contohnya, jika membeli dengan kontan harganya 10 dirham, dan jika brtempo 12 dirham. Demikian pula dengan undian yang merupakan judi.
[22] Muhammad Nasib A-Rifa’i, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. Jilid I, hlm. 693.
[23] Ibid, hlm. 694.

[25] Muhammad Nasib A-Rifa’i, ”Ringkasan Tafsir Ibn Katsir”. Jilid I, hlm. 652.
[26] Ibid, hlm 652.
[27] Suryani Elvira, “Investasi Menuju Akhirat”, http//www.wasathon.com, diakses pada tanggal 15 februari 2013

1 komentar:

Addhunters mengatakan...


Considerable article, Keep up the good work.We at Property Hunters shifted this service to a level much higher than the broker concept. If you are willing to buy property in Qatar please visit us. you can see more details like this article Houses and Flats for Sale

Posting Komentar